Pengenalan surah:
Tafsir ringkas:
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ وَطُورِ سِينِينَ وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ .
Allah bersumpah dengan Tin, Zaitun, Thursina dan Balad al-Amin.
Apakah yang dimaksud dengan Tin dan Zaitun?
Menurut Ibnu Abbas, Tin dan Zaitun yang dimaksud dalam ayat ini adalah buah tin dan zaitun. Hal ini menunjukkan bahawa buah tin dan zaitun adalah nutrisi dan buah yang sarat dengan manafaat.
Buah tin sudah ditanam sejak 4000 tahun yang lalu. Buah tin dikatakan mampu menurunkan kolesterol hingga 20%, mencegah serangan jantung. Tin juga kaya dengan serat hingga berguna untuk pencernaan dan melindungi diri dari kanser usus. Tin kering dapat digunakan untuk sterilisasi, membunuh bakteri dan virus kerana mengandungi komposisi phenol yang tinggi.
Sementara zaitun berkhasiat menurunkan kolesterol jahat, mencegah kanser, mencegah penyumbatan atau pembekuan darah dan sebagainya. Lemak dalam zaitun sama dengan lemak dalam ASI yang dikategorikan sebagai lemak terbaik untuk dikonsumsi.
Rasulullah bersabda mengenai buah Zaitun:
كُلُوا الزَّيْتَ، وَادَّهِنُوا بِالزَّيْتِ، فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ
“Makanlah buah Zaitun dan berminyaklah dengannya. Sebab, itu adalah pohon yang yang diberkati.” (HR. Turmudzi nomor 1851)
Pendapat kedua, yang dimaksud tin dan zaitun bukanlah jenis buah. Lalu apa? Para mufassir berbeza pendapat, sebagai berikut :
· Tempat tumbuhnya tin dan zaitun, iaitu negri Syam.
· Tempat diutusnya para Nabi. Tin adalah tempat diutusnya Nabi Isa, Zaitun tempat diutusnya mayoritas Nabi bani Isaril, Thursina tempat diutusnya Musa dan Balad al-Amin tempat diutusnya Nabi Muhammad Saw.
Thursina adalah nama bukit tempat Nabi Musa menerima wahyu. Sementara Balad al-Amin adalah kota Mekah.
Rangkaian ayat ini mengisyaratkan adanya beberapa tempat yang diberkahi, yaitu Mekah (lihat Ali Imran: 96), Baitul Muqaddas (lihat Al-Isra: 1) dan Bukit Sinai (lihat Al-Qashash: 30).
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4)
Khalaqa berarti menciptakan sesuatu dari tidak ada dengan ukuran tertentu sesuai dengan hikmah-Nya. Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna, tegak, lengkap dengan akal dan pikirannya. Demikian pendapat Ibnu Abbas, Mujahid dan Qatadah.
Adapula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sisi ruhani manusia, bukan fisiknya. Dengan sisi ruhani, manusia diperintahkan untuk beribadah dan mencapai tingkatan yang mulia.
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ
Ada beberapa penafsiran mengenai ayat ini:
Pertama, setelah Allah menciptakannya dengan demikian fisik yang demikian sempurna dan tegak, manusia akan dikembalikan pada level fisik yang paling rendah. Manusia akan menjadi tua, bungkuk, lemah hingga akhirnya mati (lihat Ar-Rum: 54).
Kedua, setelah manusia diciptakan dengan sempurna, lalu dibekali dengan akal, pikiran, fitrah, bahkan Allah menurunkan agama sebagai pedoman, Allah akan mengembalikan manusia pada kedudukan yang paling rendah, yaitu neraka sebab kekufuran mereka.
Ketiga, setelah manusia (Adam) diciptakan dengan sempurna, lalu ditempatkan di tempat tertinggi (surga), Allah turunkan ke tempat terendah (bumi) setelah Adam melanggar larangan Allah.
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (6)
Demikianlah manusia. Dari makhluk paling mulia bisa menjadi mahluk yang paling hina. Dari makhluk dengan fisik yang prima menjadi makhluk yang lemah. Kecuali orang yang beriman dan beramal saleh. Di akhirat, mereka akan masuk ke tempat tertinggi, yaitu surga. Sementara di dunia, Allah akan memberikan ketenangan dan ketentraman bagi mereka saat berusia lanjut.
Selain itu, banyak bukti bahwa orang beriman dan beramal tidak akan terserang penyakit pikun di hari tuanya. Syeikh Hasan as-Syair, masih hidup di usia lebih dari seratus tahun, dan masih sanggup mengajarkan qiraat asyrah kepada murid-muridnya di Madinah.
Bagi mereka akan mendapatkan pahala yang Ghairu Mamnuun. Apakah ghairu mamnuun? Bisa berarti tidak terputus, bisa pula berarti tidak disebut-sebut.
Maksud pahala yang tidak terputus adalah Allah akan tetap mencatatkan pahala amalan yang biasa ia kerjakan sewaktu muda dan sehat, namun amalan itu tidak bisa lagi ia kerjakan setelah tua dan sakit-sakitan.
Rasulullah bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Apabila seorang hamba sakit atau bepergian dicatat (amalannya) seperti apa yang ia lakukan dalam keadaan sehat dan mukim.” (HR. Bukhari nomor 2834). Bahkan, Ibnu Abbas meriwayatkan sabda Rasulullah: “jika seorang mukmin telah mencapai masa tua sehingga ia tidak bisa menunaikan amalan-amalannya, maka ia akan dicatat dengan pahala seperti yang ia kerjakan semasa mudanya”. (Tafsir al-Alusi, tanpa menyebutkan perawinya).
Atau, yang dimaksud tidak terputus adalah pahala mereka berupa kenikmatan surga. Sebagaimana kita ketahui, apabila seseorang telah masuk surga, maka ia tidak akan keluar lagi darinya. Ia akan terus berada dalam kenikmatan yang tiada terputus.
فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ (7) أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ (8)
Jika demikian keadaannya, maka, apalagi yang membuat mereka tetap mendustakan hari pembalasan? Tidakkah mereka takut terhadap Allah hakim yang paling adil? Kelak, Allah akan memutuskan semuanya tanpa ada kezhaliman sedikitpun.
Rasulullah bersabda,
“Jika salah seorang dari kalian membaca surah At-Tiin kemudian membaca ujungnya “bukankah Allah adalah Dzat yang paling adil dalam menghukumi?” maka katakanlah “Ya, dan kami termasuk orang-orang yang bersaksi atas hal itu.” (HR. Turmudzi, Abu Daud dan Ahmad)
Beberapa pengajaran dari surah At Tin:
1. Besarnya nikmat Allah SWT kepada manusia dan kewajiban mensyukuri nikmat itu.
2. Memahami bahawa kenikmatan duniawi itu tidak kekal.
3. Balasan bagi mukmin yang beramal soleh adalah pahala yang tidak terputus.
SUMBER :http://pustaka-azkia.blogspot.my/2014/05/tafsir-surah-at-tin.html